Oleh;
ROHMAT PAMOYANAN
BAHASA INDONESIA AKAN RANCU
SELAMA-LAMANYA JIKA DITULIS DENGAN AKSARA ASING. BAHASA INDONESIA SEKARANG INI ADALAH
BAHASA YANG “BELUM DEWASA” DI ANTARA BAHASA LAINNYA YANG ADA DI BENUA ASIA.
HAMPIR SEMUA BANGSA DI ASIA MENGGUNAKAN AKSARA YANG DIPUNYAINYA.
BANGSA INDONESIA SEHARUSNYA MEMBERI
UPETI PADA BANGSA PEMILIK AKSARA LATIN, KARENA TELAH SERATUS TAHUN LEBIH BANGSA
INDONESIA MEMINJAM UNTUK PENULISAN BAHASANYA.
MENGAPA BANGSA INDONESIA BELUM MAU
MENYATUKAN BERAGAM AKSARA DAERAH MENJADI SATU DAN MEMAKAINYA DALAM BAHASA
INDONESIA?
Terimakasih.
Perlu Kita Ingat dan Catat Bahwa Aksara Nusantara
Bukan Aksara Pallawa. Aksara Nusantara mengalami perkembangan dan evolusi. Yang merupakan
tradisi tulisan leluhur bangsa Indonesia, aksara pallawa mengilhami masyarakat
Indonesia tempo dulu untuk mau menciptakan kreasi-kreasi beragam dalam tradisi
tulisan. Lain halnya dengan kehadiran Aksara Arab Pegon di Nusantara dari jaman
ke jaman tidak mengalami perubahan bentuk. Aksara Nusantara merupakan karya
besar nenek moyang kita yang seharusnya kita lestarikan
Lalu apakah aksara Nusantara itu? Aksara Nusantara adalah beragam aksara yang
pernah ada di wilayah Nusantara khususnya Nusantara belahan barat dan tengah
Keberadaan Aksara Nusantara terilhami oleh munculnya aksara Pallawa dari India
Selatan sebagai sumbangsih besar bagi pembabakan sejarah di Nusantara dari
prasejarah beralih menjadi babak baru yaitu masa sejarah. Aksara Nusantara
muncul setelah bubarnya tiga kerajaan kuna di Nusantara Kutai, Taruma, dan
Kalingga.
Penggunaan aksara Nusantara atau tradisi tulisan
berlangsung kira-kira 1300 ribu tahun yang lalu atau kira-kira dimulai pada
ke-7 masehi. Aksara Nusantara memiliki beragam bentuk dan sebutan yang bebeda
tergantung pada wilayah juga jamannya.
Tradisi
tulisan ditanah Jawa, Madura, dan Bali
Aksara yang dipakai pada jaman Mataram Kuna,
Kadiri, Singasari, dan Majapahit adalah aksara kawi, sementara ada pendapat
yang menyebutkan bahwa jaman ini menggunakan aksara pranagari, namun kesemua
jenis aksara tersebut bisa saja digunakan bersamaan di jaman tersebut.
Aksara kawi juga terdiri dari berbagai varian ada
yang ditulis dalam bentuk bundar miring di jaman Mataram Kuna abad ke-9,
kemudian dijaman Kadiri Singasari penulisannya
berbentuk bujursangkar atau kotak, dan
jaman majapahit adalah generasi terakhir aksara kawi yang tulisan lebih rumit
dan terlalu banyak hiasan
Namun di sisi lain para ahli sejarah menyebutnya
dengan sebutan aksara Jawa kuna. Periode selanjutnya setelah tenggelamnya
eksistensi kerajaan-kerajaan bercorak Hindu Buddha yakni muncul beragam
kerajaan kerajaan bercorak Islam, jaman ini memunculkan aksara baru yaitu
aksara Arab pegon, namun tidak serta merta penggunaan aksara yang telah berkembang
ratusan tahun sebelumnya surut begitu saja dalam kelangsungannya. Aksara Jawa
Kuna atau aksara Kawi berubah sebutan menjadi nglegena atau sebutan Hanacaraka
di daerah Jawa Tengah, Jawa Timur, Madura, Bali bahkan Lombok dan digunakan
pada jaman kerajaan Mataram Islam Sultan Agung. Sementara itu ada juga yang
disebut ngalagena di tatar Sunda atau dengan sebutan Kaganga. Nagalagena Sunda
Kaganga (sering juga di sebut sebagai aksara Sunda Kuna) yang dipakai di masa
kerajaan Sunda, Galuh, dan Pakuan Pajajaran kira-kira abad ke-8 hingga ke-15
untuk wilayah Sunda kelapa hingga Bogor disebabkan tergusur oleh munculnya
aksara baru yakni Arab Pegon yang merupakan pengaruh berkembangnya kerajaan
bercorak Islam, dan masuknya aksara Latin yang dibawa kaum Eropa, sementara di
parahyangan eksistensi Ngalagena masih digunakan hingga abad-18.
Aksara Ngalagena atau Nglegena Merupakan Anak dari
Aksara Kawi atau Aksara Jawa Kuna. Ngalagena adalah sebutan yang dibuat oleh
masyarakat Tatar Sunda, sementara itu masyarakat Jawa Tengah dan Timur
menyebutnya dengan sebutan nglegena. Kedua akasara tersebut memiliki
bentuk-bentuk yang berbeda begitu juga dengan susunan silabiknya atau bunyi
konsonannya. Nglegena memiliki urutan silabik hanacaraka datasawala padhajayanya magabathanga yang disertai lima
aksara vokal mandiri yakni; a i u é o.
Sedangkan Ngalagena di Tatar Sunda memiliki urutan ka ga nga ca ja nya pa da na ba ma ya ra la sa ha dan tujuh aksara
vokal mandiri yakni; a i
u é e
eu o.
Aksara yang berawalan hanacaraka memiliki sedikit
perbedaan diantara berbagai daerah yang menjadi pemakainya contoh Jawa
Tengah/Timur dan Bali,namun tetap dalam kaidah yang sama, tidak merubah bentuk
aslinya.
Begitu juga dengan ngalagena kaganga Sunda
memiliki beragam Varian yakni, Kebantenan, Ciburuy, Buitezorg, Batutulis,
Sangsaka Tarunda dan Pangalana. Dijaman sekarang ini aksara ngalagena atau
Sunda Kaganga sudah dimodernisasi dengan menyatukan aksara wewengkonnya menjadi
aksara daerah yang baku dengan menyisipkan pula bunyi serapan yaitu qa fa va xa za
Masyarakat Jabodetabek tidak menghargai tradisi
tulisan yang merupakan karya besar nenek yang ratusan tahun yang lalu. diperkirakan
400 tahun yang lalu mata rantai tradisi ini terputus. Menurut beberapa sumber
sejarah setelah runtuhnya kerajaan Pakuan Pajajaran atau hilangnya nama
kerajaan tersebut dalam percaturan sejarah. Hamparan wilayah yang saat ini
disebut Bogor dan sekitarnya hingga wilayah Sunda Kalapa pamor Pakuan Pajajaran
menjadi surut. Tanah Pajajaran berubah menjadi hutan dalam kurun waktu kurang
lebih sepuluh dasa warsa. Pamor dan kewibawaan raja-raja yang pernah berkuasa
terkubur bersama lebatnya hamparan hutan kawung
yang dengan serta merta menenggelamkan sebagian tradisi yang ada di dalamnya.
Tak ada generasi lanjutan pada saat itu termasuk tradisi untuk membangun
komunikasi lewat tradisi tulisan.
Di
bogor sendiri dan wilayah sekitarnya seperti Depok Tanggerang Bekasi, prasasti
yang menggambarkan sebuah tradisi tulisan di masa silam jumlaᮠnya teramat minim.
Bandingkan dengan banyaknya bangunan atau setidaknya puing-puing sisa dari era
VOC dan Hindia Belanda yang memang tidak
dipungkiri banyak memberikan kemajuan dalam pembangunan infrastruktur yang
megah di masanya, walau pada masa itu diperuntukan untuk kepentingan kolonial, namun
masyarakat pribumi turut menikmati sarana dan prasarana yang dibangun atas
prakarsa para gubernur jendral yang pernah menjabat.
Kemewahan yang disisakan oleh kaum penjajah seperti istana Bogor bangunan
di kota tua yang sekarang menjadi musium fatahillah, greja-greja tua, tugu
peringatan Thomas Raffles
kuburan-kuburan bangsawan Belanda di dalam kebun raya. Termasuk kebun
raya itu sendiri di mana Rafles itu sendiri disetujui oleh sebagian bangsa kita
sebagai pendiri kebun raya dibandingkan mengakui Prabu Siliwangi pencetusnya, tokoh pribumi
kalah popularitasnya.
Sarana umum lainnya
seperti jalan, jembatan juga perkretaapian semuanya itu bisa dianggap hadiah
manis dari pahitnya masa kependudukan pemerintah Kolonial kesemua fasilitas
yang disisakan tersebut membuat wilayah jabodetabek hanya tinggal
melanjutkannya, dan di era tahun 60an Jakarta sudah mampu memodernisasikan
wilayah dengan beragam pembangunan. Namun di sisi lain bagi masyarakat yang mau
berpikir, bangunan dan prasarana lain yang merupakan kenangan-kenangan dari
Kolonial tetaplah tidak bisa dipungkiri jika kita melihat bangunan tersebut ternyata hanya
menguak-nguak luka lama mengingatkan kembali bahwa bangsa Indonesia bangsa yang
yang lemah yang mudah dipecah belah, diperdaya bangsa lain, dikuras kekayaan
alamnya, dibodohi rakyatnya dijadikan obyek eksploitasi, dan diadu domba
raja-rajanya, serta tidak menutup kemungkinan juga menghancurkan situs-situs
bersejarah sebagai keagungan nenek moyangnya, sehingga jika kerajaan Taruma
Negara Sunda Galuh Pakuan Pajajaran yang pernah jaya akan sulit mencari bukti
otentiknya.
Sunda kelapa atau kalapa
sebagai pelabuahan strategis yang diperebutkan oleh Portugis dan
Belanda,hingga suatu saat Fortugis terusir atas kerjasama raja sebagai peguasa
pribumi yang dibantu Belanda, dan Belanda yang merasa dirinya berjasa, bangkit
dalam dominasi kekuasaan sekaligus pula menjadi sumber perpecahan bagi para
raja daerah atau sultan seperti Banten, Jayakarta, dan Cirebon. Kolonial Belada
mulai memproklamirkan diri sebagai pengganti kekuasaan kerajaan Sunda Galuh
Pakuan Pajajaran yang telah runtuh di mana batas teritorinya terbentang
meliputi pantai utara teluk Sunda Kelapa hingga pantai selatan samudera Hindia.
Sisa-sisa masa kerajaan
Sunda atau pun Pakuan Pajajaran tidaklah
banyak, kita tidak pernah tahu apakah bukti tentang kejayaan masa
tersebut, jikapun ada entah kemana, dominasi pengaruh kekuasaan VOC atau
Belanda bisa saja melenyapkannya sehingga tak ada bukti otentik untuk dikaji
para ilmuan di daerah ini di saat sekarang.
Menjadikan Sunda Kelapa
(Batavia) dan Bogor atau Pakuan (Buiternzorg) sebagai basis kekuatan colonial
membuktika bahwa penguasa pribumi daerah ini begitu tidak memiliki gaung dan
famornya. Tradisi yang dibawa Kolonial begitu melekat menggusur jati diri
bangsa terutama dalam tradisi tulisan. Kaum Kolonial secara pasti tidak ingin
membuat kaum pribumi ini cerdas dan pintar. Bahkan Al qur’an sebagai kitab suci
umat Islam tidak disarankan oleh mereka untuk dipelajari terjemahnya. Jika bangsa
pribumi pintar pasti secara politis akan membahayakan kedudukannya.
Tradisi aksara Sunda yang
digunakan pada masa Sunda Galuh Pakuan Pajajaran lenyaplah sudah. Tulisan yang
menghiasi kota Batavia didominasi oleh aksara Latin baik bahasa Belanda maupun
Melayu. Gedung perkantoran sudah pasti ditulis dengan aksara Latin, contoh
nyata “Governoor Kantoor” di Kota Tua. Dokumentasi lain menunjukan toko-toko
kaum Tionghoa yang menggunakan aksara Cina. Kemudian aksara Arab Pegon yang
digunakan di pesantren kobong yang menjadi pilihan kaum pribumi dalam mengenyam
pendidikan.
Terimakasih.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar